Sekilas Info
Rabu, 18 Sep 2024
  • Untuk Posting Artikel /Opini pada Website ini dengan Mengirimkan Materi Tulisan ke Email: suryabudimanmifa@gmail.com Pengelola Berhak Menghapus Postingan Apabila Melanggar Aturan Hukum
21 September 2022

RANAH, RANTAU, DAN PENTINGNYA PKTD/IKTD

Rabu, 21 September 2022 Kategori : Catatan Minang
  1. *RANAH, RANTAU, DAN PENTINGNYA PKTD/IKTD*
    Dr.Ir.Armen Mara,M.Si
    (Sekum PKTD Jambi)

*Ranah*
Ranah yang dimaksud dalam tulisan ini berkaitan dengan budaya Minang, yang secara lengkap disebut dangan Ranah Minang. Menurut KBBI, ranah itu dikenal sebagai petunjuk untuk Alam Minangkabau. Ranah adalah sebutan atau istilah untuk menyebut wilayah yang didiami oleh etnis Minang. Lebih jelasnya, kata-kata Ranah bagi orang Minangkabau lebih merujuk kepada wilayah kampung halaman orang Minangkabau itu sendiri, yaitu lebih kurang sama dengan wilayah Provinsi Sumatera Barat sekarang.
Kabupaten Tanah Datar merupakan bagian dari Ranah Minang, di dalamnya ada yang disebut dengan luhak nan tigo, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Limo Puluah, dan Luhak Agam. Luhak Tanah Data disebut sebagai Luhak Nan Tuo, karena menurut Tambo, dari situlah asal nenek moyang orang Minangkabau.

“Dari puncak Gunuang Merapi, turun ka nagari banamo Pariangan, Gunuang sagadang taluah itiek, nagari salaweh tapak kudo, kambang manjadi luhak nan tigo, malingkup manjadi Ranah Alam Minangkabau”.
Luhak Tanah Data itu kira-kira melingkupi wilayah Kabupaten Tanah Datar itu sendiri, ditambah dengan wilayah Kota Padang Panjang sekarang, dan ditambah dengan sebagian wilayah Kota Sawah Lunto sekarang.

Ada yang mengatakan bahwa kata “Ranah” itu berasal dari Bahasa Minangkabau sendiri. Hal ini dapat diterima karena kata ranah itu memang sudah lama dan banyak dipakai dalam karya-karya sastra dan karya-karya tulis tentang Minangkabau, baik pada zaman dulu maupun pada zaman sekarang. Kata ranah digunakan dalam pepatah-petitih adat, gurindam, pantun, prosa, novel, dan syair-syair lagu Minang.
Saat ini, kata “Ranah” sering ditautkan dengan kata “Rantau” sehingga muncullah istilah “Ranah dan Rantau”.

*Rantau*
Kata “rantau”, konon kabarnya juga berasal dari Bahasa Minangkabau. Menurut KBBI, rantau merupakan suatu kawasan atau negeri yang berada di luar kampung halaman. Dalam konsep budaya Minangkabau, rantau dapat juga diartikan “kawasan yang diteroka dan berada di luar kawasan darek” (pedalaman atau inti). Namun, saat ini kata “rantau” digunakan untuk pengertian lokasi tempat tinggal orang Minangkabau di luar wilayah Sumatera Barat. Tersebut lah dalam budaya beberapa lokasi, yaitu Rantau Pekanbaru, Jambi, Medan, Bengkulu, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam, Philipina, sekarang sudah sampai di Australia, Asia, Afrika, Eropah dan Amerika. Bahkan perantau-perantau Minang tersebut pernah menjadi Pemimpin tertinggi di beberapa negara tersebut.

Kenapa orang Minangkabau banyak yang merantau? Menurut Mochtar Naim (1984) dalam bukunya “Merantau, pola migrasi suku Minangkabau” faktor utama yang menyebabkan orang Minangkabau itu merantau adalah faktor budaya. Hal ini tergambar dari pepatah berikut:

“Karatau madang di hulu babuah babungo balun
Karantau bujang dahulu di rumah paguno balun”

Menurut Mochtar Naim, secara adat merantau bagi laki-laki di Minangkabau wajib hukumnya. Belum lah lengkap hidupnya seorang laki-laki di Minangkabau sebelum mereka pergi merantau. Maka sementara laki-laki itu belum berguna di kampung halaman, sebaiknya lah mereka itu pergi ke rantau. Merantau dengan tujuan menimba ilmu, mencari pengalaman, dan mencari kehidupan.
Secara tradisional kampung halaman juga mempersiapkan setiap laki-laki yang akan pergi merantau dengan berbagai keperluan. Sejak kecil diajari mengaji, bersilat, bertani, berdagang, dan sebagainya. Supaya setelah sampai di rantau nanti tidak menganggur dan tidak terlantar. Dengan bekal keterampilan yang ada, mereka bisa mencari hidup. Setelah sampai dirantau pun laki-laki Minang itu diingatkan supaya bisa menjaga diri, sebagaimana pantun berikut:

“Kok bujang pai ka lapau
Hiu bali balanak bali
Ikan panjang bali dahulu
Kok bujang sampai dirantau
Ibu cari dunsanak cari
Induk samang cari dahulu”

Induak semang dalam Bahasa Minangkabau itu adalah orang atau bos yang memberi pekerjaan. Kalau bekerja menjadi pelayan di rumah makan maka pemilik rumah makan itu adalah induk semang, kalau bekerja sebagai pelayan sebuah toko maka pemilik toko iu disebut induk semang, kalau membeli barang dagangan untuk manggaleh maka orang tempat berbelanja itu disebut induk semang. Selanjutnya dinasehatkan oleh pepatah berikut:

“Kok mandi di ilia-ilia
Kok manyauak di bawah-bawah
Bajalan usah malendo
Bakato usah manggadang”

Maksud dari pepatah ditas, supaya diperantauan tidak boleh menyombongkan diri. Agama Islam mengajarkan bahwa manusia itu kecil, tidak berarti apa-apa dibandingkan dengann kekuasaan Allah yang maha besar. Dalam berkata, pandang lah kiri dan kanan, lihat lah ke muka dan ke belakang, jangan sampai ada orang yang tersinggung. Selanjutnya pepatah berikut menjelaskan pula bahwa perantau Minang itu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat.

“Dimaa bumi dipijak, di situ langik dijunjuang
Dimaa sumua dikali, di situ aia disauak
Dimaa nagari diunyi, di situ adat dipakai”.

Di perantauan biasanya urang Minangkabau termasuk urang Tanah Datar hidup memencar, tidak mengumpul. Berbeda dengan suku lain yang cenderung mengumpul dalam bertempat tinggal. Pepatah Jawa mengatakan: “Mangan ora mangan waton ngumpul” (makan atau tidak makan yang penting ngumpul). Bagi orang Minang berlaku sebaliknya: “Ngumpul ora ngumpul waton mangan” (Ngumpul atau tidak ngumpul yang penting dapat makan).
Itu lah sebabnya, dibanyak kota ditemukan nama-nama kampung dari berbagai suku seperti “kampung Jawa, kampung Sunda, kampung Bugis, kampung Banjar, kampung Batak dan kampung Cina”. Sedangkan “Kampung Minang” atau ”Kampung Padang” apalagi “Kampung Tanah Datar” tidak pernah ditemukan. Orang Tanah Datar merasa tidak harus mengumpul, berdekatan tempat tinggal, dan tidak membuat kampung di negari orang karena mereka bisa beradaptasi, menyatu dan membaur dengan suku mana pun. Namun, perasaan mereka selalu mengenang kampung halaman. “Basuo jo dunsanak, lapeh juo taragak jo kampuang halaman”

*Penting kah PKTD/IKTD di Perantauan?*
Selanjutnya, perlu atau tidak perlu nya PKTD/IKTD di rantau tidak lah terlalu sulit untuk dipahami. Fakta menunjukan, bahwa dimana-mana, diberbagai kota, dan di berbagai lokasi sudah lama bermunculan organisasi-organisasi, kelompok-kelompok, perkumpulan-perkumpulan yang di dalamnya berkumpul orang-orang asal Tanah Datar. Bahkan tidak hanya perkumpulan kabupaten, melainkan juga perkumpulan kecamatan, atau pun perkumpulan nagari yang ada di Tanah Datar, ditemukan perkumpulannya di perantauan.
Sebutan untuk organisasi Tanah Datar itu nampaknya bermacam-macam, ada yang menyebut PKTD (Perkumpulan Keluarga Tanah Datar), ada juga IKTD (Ikatan Keluarga Tanah Datar), ada juga yang menyebut Perwatar (Perkumpulan Warga Tanah Datar), dan sebutan lainnya. Sebutan nya memang berbeda tetapi maksudnya sama yaitu wadah social sebagai tempat berkumpulnya warga asal Tanah Datar di perantauan.

Dari sini sudah nampak pentingnya PKTD, bahwa warga asal Tanah Datar itu ada kerinduan dengan suasana kampung, dan ada perasaan ingin bertatap muka dengan orang sekampung. Tentu saja organisasi itu bukan hanya untuk kangen-kangenan, melainkan untuk bisa saling menolong dan bergotong royong menghadapi masalah, “sakik samo diraso, sanang samo dicubo”, sebagaimana disebutkan oleh pepatah:

Duduak sorang basampik-sampik
Duduak basamo balapang-lapang

Secara fisik seakan-akan terbalik dengan yang sebenarnya, tetapi secara psikology social itu lah yang sebenarnya. Karena kalau kita sendiri saja, tidak ada kawan atau dunsanak untuk berunding atau baiyo, akan terasa beratlah persoalan itu. Sebaliknya jika banyak kawan dan banyak dunsanak, suasana hati kita terasa lapang. Sejalan dengan ajaran “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, maka berbuat baik dengan sesama itu sudah sepaham dengan ajaran agama Islam dan sesuai pula dengan pepatah adat. Bak pepatah adat sebagai berikut:

Kaba baiak baimbauan, kaba buruak baambauan
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang
Ka bukik samo mandaki, ka lurah samo manurun
Saciok bak ayam, sadancieang bak basi

Namun, walaupun sesama warga asal Tanah Datar, ada saja perbedaan pendapat dan perbedaan pikiran antara satu dengan lainnya. Bisa saja “barek dak sama tapikuah, ringan dak samo tajinjiang. Saciok dak bak ayam, sadancieang dak bak basi, dan seterusnyo”.

Maka tidak dipungkiri dalam pergaulan orang Tanah Datar di Perantauan itu, memang ada yang riak-riak kecil, kadang-kadang berkembang menjadi komplik, dan membuat organisasi yang sudah terbentuk tersendat-sendat jalannya. Ada yang fakum, ada juga yang mati suri, dan ada yang jalannya hangat-hangat taik ayam. Hal ini dapat dimaklumi bahwa hakekat hidup Bersama perlu dipahami pepatah berikut:

“Jauh berjalan banyak dilihat,
lama hidup banyak dirasakan.

Oleh karena itu tentu saja:

Kepala sama-sama berambut,
pikiran mungkin balain-lain”

Kita yakin perkataan kita yang benar, tapi orang lain pun punya alasan untuk mengatakan bahwa penyataannya lah yang benar. Maka kembali ke pepatah:

“Bulek aieh ka pambuluah
Bulek kato jo mupakek
Supayo bulek dibao baiyo
Supayo bana diparundiangkan”

Demikian tulisan pendek ini semoga bermanfaat untuk pengembangan organisasi Warga Asal Tanah Datar di perantauan, dimasa mendatang. Baik yang namanya PKTD atau pun IKTD atau pun Perwatar atau apapun namanya, semoga “Namanya” itu semakin membaik.

Aamiin YRA. Jambi.21.09.22*).

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Tinggalkan Komentar